Melupakan sejenak hidden Markov model...saya ingin sedikit cerita tentang bis kota di Daejeon.
Di negri serba teratur ini (kecuali ajuma-ajuma yang suka nyebrang jalan sembarangan ^^;;;), transportasi umum lumayan nyaman digunakan. Terutama bis kota, yang nyaris jadi mobil pribadi saya buat jalan-jalan keliling kota walaupun tak sampai bisa duduk di samping pak supir yang sedang bekerja mengendarai bis supaya baik jalannya. Rute bis kota Daejeon boleh dibilang mirip rute angkot di Bandung: dari tengah kota sampai ke pinggir kota, dari tengah gunung sampai ke pinggir sungai, semua ada. Tentu saja, untuk beberapa rute kita harus transit (cieh, transit) dari satu rute ke rute lain, juga terkadang harus jalan beberapa puluh meter untuk mencapai halte bis terdekat, termasuk juga menunggu bis nya datang. Untungnya bis kota Daejeon lumayan tepat waktu. Di hampir tiap halte kita bisa melihat bus apa yang akan datang berapa menit lagi dan posisi terakhir ada di mana. Kebanyakan bis datang sekitar 10-15 menit, walaupun ada yang lebih lama dan lebih cepat. Tapi tetap saja merupakan solusi terbaik yang murah buat pergi ke manapun di Daejeon (yang termahal ya naik taksi, yang tercapek ya jalan kaki atau naik sepeda).
Ada empat jenis bis kota Daejeon: bis warna merah, dengan kode satu digit, yang melayani rute jalur utama utara-selatan dan barat-timur; bis warna biru, dengan kode tiga digit dengan angka nol di tengah, yang melayani rute jalan2 protokol; bis warna hijau, dengan kode tiga digit tanpa angka nol di tengah, yang melayani rute jalan2 kecil, dan bis pinggir kota, dengan kode dua digit, yang menghubungkan desa-desa kecil di sekitar Daejeon ke tengah kota. Sampai sekarang saya gak tau aturan jelas menomori bis-bis ini (cocok sekali dengan saya gak tau aturan jelas menomori angkot-angkot di Bandung), gak seperti di Seoul yang, menurut wiki, berdasarkan area yang dilintasi bis. Saya sudah coba tebak-tebak seperti itu, tapi kok gak ada yang cocok. Khusus untuk kecamatan Yuseong, ada bis milik kecamatan yang melayani rute2 di dalam kecamatan. Sebenarnya warna-warna bis ini baru diciptakan (establish bahasa Indonesianya apa yah...) akhir tahun kemarin, berikut perubahan drastis seluruh rute bis Daejeon (jadi kalau misalnya mami Qonit atau pak preman dan pak tekbe kembali ke Daejeon, pasti puyeng kalau ikut rute yang lama, persis harmoni-harmoni yang kebingungan tanya pak supir tiap mau naik bis). Karena baru sekitar lima bulan, masih ada beberapa bis yang belum selesai dicat sesuai rutenya, jadi masih sering terlihat bis-bis dengan warna bis kota Daejeon sebelumnya: putih, kuning dengan sedikit biru (kayak gimana tuh).
Sama seperti bis kota dimanapun, bis kota Daejeon menyediakan tempat-tempat duduk seadanya dan mempersilahkan orang-orang malang berdiri sambil pegangan ke kaitan pegangan atau batang pegangan. Formasinya biasanya untuk 5-6 baris pertama masing-masing baris punya satu kursi untuk satu orang di sebelah kiri dan di sebelah kanan. Baris-baris di belakangnya punya masing2 satu kursi untuk dua orang di kiri dan kanan sebanyak 2-3 baris. Di baris paling belakang biasanya bisa muat 6 orang. Sebagian bis yang lain memiliki lebih banyak kursi: dua kursi di kiri dan di kanan, jadi empat orang sebaris, mulai dari depan hingga belakang. Bis lainnya, yang didesain biar bisa ngangkut pengguna kursi roda, memiliki formasi yang sama seperti bis yang pertama, tetapi lantainya lebih rendah dan punya pintu keluar yang lebih lebar. Yang pasti, kalau kebetulan kebagian berdiri, harus pandai-pandai menjaga keseimbangan, karena supir bus kota Daejeon itu gak kalah ama sopir angkot Cicaheum Ledeng atau Cicaheum Ciroyom yang suka ngendon di lapo (gak mau ah nyamain ama supir metromini, baru pernah naik sekali soalnya, itu juga diturunin ditengah jalan, jadi gak tau bandingannya). Yang pasti bukan ngejar setoran... tapi memang bisnya susah direm tanpa ndut-ndutan, dan belok tanpa miring2?
Seperti yang sudah dibilang di atas, naik bis itu solusi termurah. Ke mana-mana cukup 1,000 won satu kali naik bis. Apalagi kalau punya kartu langganan, cuma 950 won saja... plus... kalau transit antar 2 bis di dalam 30 menit, kita gak usah bayar buat yang kedua. Cara bayarnya, begitu masuk kita langsung bertatap muka dengan pak sopir dan terlebih dahulu mengucap salam... tentu saja bukan... terlebih dahulu bayar ongkos bis di kencleng yang disediakan, atau kalau punya kartu cukup men-tag (apa bahasa Indonesianya "mendekatkan kartu kepada mesin pendebet uang di kartu hingga mesin tersebut berbunyi teeet"?) kartu itu ke mesin pendebet (apa ya istilahnya yg bener? bahasa Korea-nya: danmalgi, alias "terminal machine") sehingga nilai uang kita yang tersimpan di kartu berkurang sebanyak ongkos bis. Nanti kalau turun bis, kalau kira2 mau transit naik bis lagi, jangan lupa di-tag lagi. Kartu bis seharga 2,500 won ini bisa didapatkan di loket karcis subway, bank atau di kios-kios penjual kartu. Kita bisa mengisi kartu ini sebanyak yang kita inginkan sebagai deposit, sampai habis dipakai dan kita bisa isi ulang di loket karcis subway, bank atau di kios-kios penjual kartu dan beberapa mini market. Bedanya dengan di Seoul, kalau jauh-dekat trayek nya dihitung (jadi kalo turun kita harus men-tag lagi biar gak bayar ongkos maksimal), di Daejeon ke mana-mana ongkosnya sama, kecuali satu trayek yang sampai ke kota kecil Okcheon. Saya gak punya bandingan di negri lain yang sistem pembayarannya sama ama di sini. Bis di Lausanne, misalnya, kita naik bis dengan penuh kejujuran: beli karcis di mesin, ntar naik langsung masuk aja gak perlu salam-salam ama pak sopir dan gak ada kondektur (walaupun ada pengumuman kalau gak ada karcis pas diperiksa, bakal disuruh bayar mahal). Bis di Bandung juga, bayarnya nunggu ditagih pak kondektur. Sepertinya orang sini sudah lumayan tertib tapi masih kurang jujur.. hehe..
Di negri serba teratur ini (kecuali ajuma-ajuma yang suka nyebrang jalan sembarangan ^^;;;), transportasi umum lumayan nyaman digunakan. Terutama bis kota, yang nyaris jadi mobil pribadi saya buat jalan-jalan keliling kota walaupun tak sampai bisa duduk di samping pak supir yang sedang bekerja mengendarai bis supaya baik jalannya. Rute bis kota Daejeon boleh dibilang mirip rute angkot di Bandung: dari tengah kota sampai ke pinggir kota, dari tengah gunung sampai ke pinggir sungai, semua ada. Tentu saja, untuk beberapa rute kita harus transit (cieh, transit) dari satu rute ke rute lain, juga terkadang harus jalan beberapa puluh meter untuk mencapai halte bis terdekat, termasuk juga menunggu bis nya datang. Untungnya bis kota Daejeon lumayan tepat waktu. Di hampir tiap halte kita bisa melihat bus apa yang akan datang berapa menit lagi dan posisi terakhir ada di mana. Kebanyakan bis datang sekitar 10-15 menit, walaupun ada yang lebih lama dan lebih cepat. Tapi tetap saja merupakan solusi terbaik yang murah buat pergi ke manapun di Daejeon (yang termahal ya naik taksi, yang tercapek ya jalan kaki atau naik sepeda).
Ada empat jenis bis kota Daejeon: bis warna merah, dengan kode satu digit, yang melayani rute jalur utama utara-selatan dan barat-timur; bis warna biru, dengan kode tiga digit dengan angka nol di tengah, yang melayani rute jalan2 protokol; bis warna hijau, dengan kode tiga digit tanpa angka nol di tengah, yang melayani rute jalan2 kecil, dan bis pinggir kota, dengan kode dua digit, yang menghubungkan desa-desa kecil di sekitar Daejeon ke tengah kota. Sampai sekarang saya gak tau aturan jelas menomori bis-bis ini (cocok sekali dengan saya gak tau aturan jelas menomori angkot-angkot di Bandung), gak seperti di Seoul yang, menurut wiki, berdasarkan area yang dilintasi bis. Saya sudah coba tebak-tebak seperti itu, tapi kok gak ada yang cocok. Khusus untuk kecamatan Yuseong, ada bis milik kecamatan yang melayani rute2 di dalam kecamatan. Sebenarnya warna-warna bis ini baru diciptakan (establish bahasa Indonesianya apa yah...) akhir tahun kemarin, berikut perubahan drastis seluruh rute bis Daejeon (jadi kalau misalnya mami Qonit atau pak preman dan pak tekbe kembali ke Daejeon, pasti puyeng kalau ikut rute yang lama, persis harmoni-harmoni yang kebingungan tanya pak supir tiap mau naik bis). Karena baru sekitar lima bulan, masih ada beberapa bis yang belum selesai dicat sesuai rutenya, jadi masih sering terlihat bis-bis dengan warna bis kota Daejeon sebelumnya: putih, kuning dengan sedikit biru (kayak gimana tuh).
Sama seperti bis kota dimanapun, bis kota Daejeon menyediakan tempat-tempat duduk seadanya dan mempersilahkan orang-orang malang berdiri sambil pegangan ke kaitan pegangan atau batang pegangan. Formasinya biasanya untuk 5-6 baris pertama masing-masing baris punya satu kursi untuk satu orang di sebelah kiri dan di sebelah kanan. Baris-baris di belakangnya punya masing2 satu kursi untuk dua orang di kiri dan kanan sebanyak 2-3 baris. Di baris paling belakang biasanya bisa muat 6 orang. Sebagian bis yang lain memiliki lebih banyak kursi: dua kursi di kiri dan di kanan, jadi empat orang sebaris, mulai dari depan hingga belakang. Bis lainnya, yang didesain biar bisa ngangkut pengguna kursi roda, memiliki formasi yang sama seperti bis yang pertama, tetapi lantainya lebih rendah dan punya pintu keluar yang lebih lebar. Yang pasti, kalau kebetulan kebagian berdiri, harus pandai-pandai menjaga keseimbangan, karena supir bus kota Daejeon itu gak kalah ama sopir angkot Cicaheum Ledeng atau Cicaheum Ciroyom yang suka ngendon di lapo (gak mau ah nyamain ama supir metromini, baru pernah naik sekali soalnya, itu juga diturunin ditengah jalan, jadi gak tau bandingannya). Yang pasti bukan ngejar setoran... tapi memang bisnya susah direm tanpa ndut-ndutan, dan belok tanpa miring2?
Seperti yang sudah dibilang di atas, naik bis itu solusi termurah. Ke mana-mana cukup 1,000 won satu kali naik bis. Apalagi kalau punya kartu langganan, cuma 950 won saja... plus... kalau transit antar 2 bis di dalam 30 menit, kita gak usah bayar buat yang kedua. Cara bayarnya, begitu masuk kita langsung bertatap muka dengan pak sopir dan terlebih dahulu mengucap salam... tentu saja bukan... terlebih dahulu bayar ongkos bis di kencleng yang disediakan, atau kalau punya kartu cukup men-tag (apa bahasa Indonesianya "mendekatkan kartu kepada mesin pendebet uang di kartu hingga mesin tersebut berbunyi teeet"?) kartu itu ke mesin pendebet (apa ya istilahnya yg bener? bahasa Korea-nya: danmalgi, alias "terminal machine") sehingga nilai uang kita yang tersimpan di kartu berkurang sebanyak ongkos bis. Nanti kalau turun bis, kalau kira2 mau transit naik bis lagi, jangan lupa di-tag lagi. Kartu bis seharga 2,500 won ini bisa didapatkan di loket karcis subway, bank atau di kios-kios penjual kartu. Kita bisa mengisi kartu ini sebanyak yang kita inginkan sebagai deposit, sampai habis dipakai dan kita bisa isi ulang di loket karcis subway, bank atau di kios-kios penjual kartu dan beberapa mini market. Bedanya dengan di Seoul, kalau jauh-dekat trayek nya dihitung (jadi kalo turun kita harus men-tag lagi biar gak bayar ongkos maksimal), di Daejeon ke mana-mana ongkosnya sama, kecuali satu trayek yang sampai ke kota kecil Okcheon. Saya gak punya bandingan di negri lain yang sistem pembayarannya sama ama di sini. Bis di Lausanne, misalnya, kita naik bis dengan penuh kejujuran: beli karcis di mesin, ntar naik langsung masuk aja gak perlu salam-salam ama pak sopir dan gak ada kondektur (walaupun ada pengumuman kalau gak ada karcis pas diperiksa, bakal disuruh bayar mahal). Bis di Bandung juga, bayarnya nunggu ditagih pak kondektur. Sepertinya orang sini sudah lumayan tertib tapi masih kurang jujur.. hehe..
Comments