Setelah lama tidak menulis tentang 47 prefektur (padahal mah rencananya mau ditulis semua, tapi dasar pemalas), kali ini ada kesempatan buat nulis cerita berikutnya. Tentang prefektur Osaka, prefektur kedua yang dikunjungi setelah Chiba.
Jadi ini ceritanya jaman di Koriyah dahulu, setelah (akhirnya) lulus kuliah tahun sebelumnya dan lanjutmenguli kerja di lab sebagai kuli bantu-bantu profesor posdoc; alhamdulillah gaji cukup buat ini itu dan ada sisa, jadinya ada lebih buat jalan-jalan. Gak ada kepikiran sih tadinya bakal jalan-jalan ke Jepang. Tapi suatu hari entah kapan saya lupa persisnya, mas AAJB tiba2 mengkakao (you know you live in Korea when you use kakao as communication medium) ngajakin jalan2 ke Jepun pas liburan seollal alias tahun baru cina.
Wew.
Why not?
Jadilah singkat cerita, kunjungan pertama (officially, tanpa ditangkap petugas, dengan visa resmi... wkwk) ke Jepang adalah berwisata bersama 5 anak buah ke Kansai. Pilihannya Kansai karena ada Peach Air yang punya layanan tiket murah Incheon - KIX, cuma 30 ribu won (klo ga salah...) pulang pergi. Karena itu, Osaka-fu, tempat airport Kansai berada, jadi prefektur kedua yang dikunjungi. Aselinya jalan-jalan waktu itu menginapnya di Kyoto (that would be the 3rd prefecture), mainnya ke Nara (and that would be the 4th prefecture) dan Osaka.
Setelah pindah ke Jepang, ke Osaka jadi lumayan agak sering buat jalan-jalan. Pertama kali ke Osaka naik shinkansen itu waktu nyamperin si Bebet dan rombongannya buat nitipin pesenan Laruku mas Geri (waktu mereka semua masih jadikuli mahasiswa di KAIST). Sekalian menyambangi Abenobashi shotengai karena dari jaman kapan dulu nonton anime Abenobashi maho shotengai. Pas ke sana, "oh gini doang..." XD lalu melipir ke Tennoji dan muter-muter di sana, masih belum menemukan jati diri perjalanan Osaka (apasih).
Yang berikutnya... apa ya... gak ingat urut-urutannya, tapi pernah niat banget ke stasiun JR yang di platform-nya ada penanda perbatasan prefektur Osaka dan Kyoto (lengkap dengan berfoto berdiri di tengah-tengah, kaki kiri Kyoto, kaki kanan Osaka), mengunjungi Abeno Harukas -gedung tertinggi di Jepang- di Tennoji, kemudian beberapa kali melipir di Namba, Shinsaibashi, Dotonbori, Osaka castle, oh, termasuk menyamperin penganten baru mas Geri dan mba Upik yang lagi berbulan madu di Osaka, menemani ke museum kehidupan Osaka jaman Edo, lalu juga mengunjungi mas Kucing pas dedek Haku baru lahir di rumah sakit di Kunijima, kemudian beberapa kali mengunjungi si Jokow, yang habis lulus di Tsukubadai lanjut ke Osakadai, kemudian juga menyambangi teteh Kiyonon yang salah satu first live-nya di Osaka, menghadiri konferensi di Osakadai, kemudian kapok airbnb gara-gara bule londo edan di Osaka (wkwkwk), mengunjungi depan (iya depannya doang -karena masuknya mahal ih-) Universal Studio Japan, mendaki gunung terendah se-Jepang (ada! ada! di Osaka! gunung terendah di Jepang, hanya 453 senti tingginya!), dan lain-lainnya.
Itu di kota Osaka.
Agak ke pinggiran sedikit, pernah juga menyambangi Sakai, Kishiwada, dan Toyonaka, kota-kota di sekitar Osaka-shi. Sedikit cerita, Kishiwada ada castle yang lumayan manis, letaknya di tengah-tengah pemukiman dikelilingi parit dengan pepohonan yanagi. Dibandingkan Osaka castle, ukurannya jelas jauh lebih kecil, tapi lebih terasa adem dan gak banyak orang hiruk pikuk.
Dibandingkan Tokyo, katanya Osaka nuansanya berbeda. Mungkin kalau benar-benar tinggal di Osaka lebih terasa lagi (katanya, di Osaka orang-orangnya lebih suka menyapa daripada di Tokyo). Sebagai turis dadakan, saya gak bisa menilai sih, secara jalan-jalan juga gak sampai aktif bergahul dengan masyarakat setempat (bukan kampanye pilkada pun!!). Yang terasa mungkin kalau misalnya ke Shinsaibashi jalan di shotengai yang panjaaaaaaaaaang itu... yang gak ada setaraannya di Tokyo, kemudian banyak pedestrian bawah tanah (Shinjuku pun tidak seluas itu), kemudian rasa dan nuansa di lantai lima bridge-nya Osaka station yang belum nemu tempat serupa di Tokyo.
Oh.
Orang-orang di Osaka berdiri di eskalator di sebelah kanan, sementara di Tokyo (dan semua tempat lain di Jepang) berdiri di sebelah kiri.
Nanisore??? Ahahaha.
Yang belum kesampaian di Osaka... apa ya... mungkin nanti kalau agak senggang mau hanami di sana, atau jalan-jalan santai di Dotonbori dan Nipponbashi serta Dendentown-nya. Insya Allah.
Jadi ini ceritanya jaman di Koriyah dahulu, setelah (akhirnya) lulus kuliah tahun sebelumnya dan lanjut
Wew.
Why not?
Jadilah singkat cerita, kunjungan pertama (officially, tanpa ditangkap petugas, dengan visa resmi... wkwk) ke Jepang adalah berwisata bersama 5 anak buah ke Kansai. Pilihannya Kansai karena ada Peach Air yang punya layanan tiket murah Incheon - KIX, cuma 30 ribu won (klo ga salah...) pulang pergi. Karena itu, Osaka-fu, tempat airport Kansai berada, jadi prefektur kedua yang dikunjungi. Aselinya jalan-jalan waktu itu menginapnya di Kyoto (that would be the 3rd prefecture), mainnya ke Nara (and that would be the 4th prefecture) dan Osaka.
Setelah pindah ke Jepang, ke Osaka jadi lumayan agak sering buat jalan-jalan. Pertama kali ke Osaka naik shinkansen itu waktu nyamperin si Bebet dan rombongannya buat nitipin pesenan Laruku mas Geri (waktu mereka semua masih jadi
Yang berikutnya... apa ya... gak ingat urut-urutannya, tapi pernah niat banget ke stasiun JR yang di platform-nya ada penanda perbatasan prefektur Osaka dan Kyoto (lengkap dengan berfoto berdiri di tengah-tengah, kaki kiri Kyoto, kaki kanan Osaka), mengunjungi Abeno Harukas -gedung tertinggi di Jepang- di Tennoji, kemudian beberapa kali melipir di Namba, Shinsaibashi, Dotonbori, Osaka castle, oh, termasuk menyamperin penganten baru mas Geri dan mba Upik yang lagi berbulan madu di Osaka, menemani ke museum kehidupan Osaka jaman Edo, lalu juga mengunjungi mas Kucing pas dedek Haku baru lahir di rumah sakit di Kunijima, kemudian beberapa kali mengunjungi si Jokow, yang habis lulus di Tsukubadai lanjut ke Osakadai, kemudian juga menyambangi teteh Kiyonon yang salah satu first live-nya di Osaka, menghadiri konferensi di Osakadai, kemudian kapok airbnb gara-gara bule londo edan di Osaka (wkwkwk), mengunjungi depan (iya depannya doang -karena masuknya mahal ih-) Universal Studio Japan, mendaki gunung terendah se-Jepang (ada! ada! di Osaka! gunung terendah di Jepang, hanya 453 senti tingginya!), dan lain-lainnya.
Itu di kota Osaka.
Agak ke pinggiran sedikit, pernah juga menyambangi Sakai, Kishiwada, dan Toyonaka, kota-kota di sekitar Osaka-shi. Sedikit cerita, Kishiwada ada castle yang lumayan manis, letaknya di tengah-tengah pemukiman dikelilingi parit dengan pepohonan yanagi. Dibandingkan Osaka castle, ukurannya jelas jauh lebih kecil, tapi lebih terasa adem dan gak banyak orang hiruk pikuk.
Dibandingkan Tokyo, katanya Osaka nuansanya berbeda. Mungkin kalau benar-benar tinggal di Osaka lebih terasa lagi (katanya, di Osaka orang-orangnya lebih suka menyapa daripada di Tokyo). Sebagai turis dadakan, saya gak bisa menilai sih, secara jalan-jalan juga gak sampai aktif bergahul dengan masyarakat setempat (bukan kampanye pilkada pun!!). Yang terasa mungkin kalau misalnya ke Shinsaibashi jalan di shotengai yang panjaaaaaaaaaang itu... yang gak ada setaraannya di Tokyo, kemudian banyak pedestrian bawah tanah (Shinjuku pun tidak seluas itu), kemudian rasa dan nuansa di lantai lima bridge-nya Osaka station yang belum nemu tempat serupa di Tokyo.
Oh.
Orang-orang di Osaka berdiri di eskalator di sebelah kanan, sementara di Tokyo (dan semua tempat lain di Jepang) berdiri di sebelah kiri.
Nanisore??? Ahahaha.
Yang belum kesampaian di Osaka... apa ya... mungkin nanti kalau agak senggang mau hanami di sana, atau jalan-jalan santai di Dotonbori dan Nipponbashi serta Dendentown-nya. Insya Allah.
Comments